Minggu, 13 Desember 2009

Kisah Nyata : Eksperimen "Cloning" Gen Lupus (Jepang)

"Sebuah ketidakberdayaan menggali kebesaran-NYA"

Satu tahun berselang, sejak kedatanganku di Laboratorium Clinical Pathology and Immunology Kobe University, yang amat kubanggakan ini. Tak ada ungkapan yang bisa mewakili kebahagiaanku, selain kesyukuran yang begitu dalam atas kesempatan menggeluti dunia Biologi Molekuler. Aku terlahir tidak dengan otak super jenius, seperti kebanyakan teman-teman yang tengah menempuh studi disini. Tapi, pesan-pesan kasih dan penuh kehangatan dari “baginda”, almarhum Abah dan keluarga tercinta, tak pernah henti menggelorakan semangatku untuk terus belajar dan berkarya.

Kuakui, tidak ada yang mudah saat mempelajari molekul-molekul sel hidup. Tapi nyatanya, tidak terlalu rumit juga, kala kita “mau” tekun dan tanpa letih meng-eksplorasinya. Dalam suasana yang masih serba kebingungan itu, aku mencoba men-design eksperimen cloning gen yang diduga menjadi penyebab penyakit Lupus pada manusia.

Lupus, (nama ilmiahnya : Systemic Lupus Erythematosus/SLE) adalah suatu penyakit sistem imunitas/kekebalan, dimana jaringan tubuh kita dianggap benda asing. Antibodi, yang semestinya melawan virus/bakteri dari luar, malah menghancurkan sel tubuh kita sendiri. Gawatnya, penyakit ini sangat mematikan --setara dengan kanker-- karena semua organ tubuh dapat terkena. Sampai saat ini, belum ada satu obat pun yang mampu menyembuhkannya, meski riset terus dikembangkan. Orang dengan penyakit Lupus (ODAPUS) seringkali nampak sehat. Namun berbagai pemicu, seperti stress, sinar matahari, obat-obatan, infeksi, KB hormonal dll, dapat menyebabkan kekambuhan dan mungkin berakibat fatal bagi si penderita. Dan, terapi gen agaknya kini tengah diincar oleh para ilmuwan sebagai alternatif pengobatan bagi penderita Lupus.

Berbekal keilmuan biomolekuler yang serba pas-pasan, aku tertantang untuk menyelami lebih jauh tentang gen penyebab Lupus ini. Di bawah bimbingan Seiji Kawano sensei, --seorang guru dan “bapak” yang baik--, aku mencoba menggabungkan 2 gen untuk ditanamkan pada sel HSG (sel kelenjar air liur manusia) yang beberapa bulan lalu telah berhasil kubiakkan dalam cawan biakan. Itulah pekerjaan “cloning”. Dunia riset menyebutnya Rekayasa Genetika (DNA recombinant). Sebuah karya besar bagiku. Bukan saja karena ini pengalaman pertamaku, tapi lebih karena “kenekatan”-ku untuk memodifikasi gen, sebuah ciptaan-NYA yang masih diselimuti misteri hingga kini.

Gen itu disebut Ro-52, sebuah protein (antigen) yang ditemukan pada pasien Lupus, dan “dituduh” menjadi penyebab munculnya penyakit Lupus pada manusia. Gen Ro-52 ini akan kusambungkan dengan gen lain sebagai pembawanya, (sebut saja gen EGFP-N1), agar bisa ditanamkan pada sel HSG, hasil biakanku. Harapan kami, gen baru hasil cloning inilah yang nantinya akan menjadi dasar pengobatan penyakit Lupus. Sebuah riset panjang dan berkesinambungan, untuk sampai pada tahap itu. Dan tidak ada seorang pun yang tahu, apakah pekerjaan “coba-coba” ini akan berhasil ataukah terpaksa kandas di tengah jalan.

Dengan menggunakan sebuah mesin cloning ber-merk AMAXA, serangkaian proses cloning yang menegangkan itu berhasil kulalui dengan baik. Tidak terlalu susah sebenarnya, hanya perlu sedikit ketelitian saja. Namun, ternyata pekerjaan besar belum selesai. Sel yang sudah terisi gen Ro-52 dan EGFP-N1 itu, harus dibiakkan kembali dalam ratusan cawan kecil. Esok harinya, antibiotik dosis tinggi harus diberikan, sebagai seleksi, agar sel yang berhasil dikloning saja yang bertahan hidup. Dan seluruh prosedur cloning itu harus dilakukan di ruangan steril, dengan tetap memperhatikan suhu, kelembaban, pH (keasaman), serta kadar oksigen dan CO2 yang sesuai untuk kehidupan sebuah sel. Ya, semuanya tetap dalam konsep “meniru” lingkungan/suasana, layaknya dalam tubuh manusia yang asli. Tak lupa, pertumbuhannya juga harus dimonitor setiap hari di bawah lensa mikroskop selama 2-3 minggu pasca cloning. Sungguh, suatu kerja spekulatif. Ilmuwan mana yang berani menjamin, sel cloning itu mampu bertahan hidup? Bukankah hidup matinya sebuah sel, sudah ada yang mengatur? Terlebih lagi, ini sel baru, hasil rekayasa manusia. Allahu akbar.

Demikianlah, sekilas eksperimen itu nampak rumit dan canggih. Namun sesungguhnya, konsep awalnya sederhana saja. Jika dicermati, bukankah pekerjaan cloning itu hanya “meng-ekor” konsep Tuhan saat menciptakan manusia? Lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan sel itu, bukankah identik dengan bumi, sebagai tempat ideal yang dipilihkan Allah untuk manusia? Bukan Merkurius yang sangat panas ataupun Pluto yang teramat dingin. Dan, seleksi antibiotik itu boleh jadi merupakan analog dihadirkannya ujian dalam setiap episode kehidupan manusia. Hanya manusia “tangguh” saja yang berhasil lolos dalam setiap ujian kehidupannya. Wallahu a’lam bisshowab.

Ah,… analog diatas rasanya kok gak nyambung dan terlalu dipaksakan ya... Tapi biarlah, entah benar atau tidak, aku sendiri enggan mempersoalkannya. Yang pasti, mencoba mengkorelasikan kegiatan ilmiah di laboratorium dengan “olah spiritual” menguak tanda kebesaran-NYA, seringkali menjadi penghibur di kala kebosanan riset mulai menggejala. Ya, hanya sekedar rihlah bathiniyah. Agar logika ilmiah yang kini tengah diasah, tetap membawa kita mendekat dan memusat menuju padaNYA.

Dan, waktu terus berputar. Di tengah rutinitasku memantau pertumbuhan sel cloning yang entah berhasil atau gagal itu, aku asyik berangan-angan. Suatu hari nanti seorang penderita Lupus yang datang ke tempat praktekku --di sebuah gang kecil di Ciputat-- tidak lagi pulang dengan membawa obat-obatan pereda gejala. Akan tetapi, ia membawa secarik surat rujukan ke laboratorium baru “Islamic Gene Research Center” untuk menjalani serangkaian terapi gen. Dan, di laboratorium itu, bekerja seorang “Aisyah”, yang menghabiskan sisa umurnya untuk kesembuhan penderita Lupus dan penyakit mematikan lain. Ah,… kedengarannya terlalu muluk. Tapi itulah mimpi. Dan apa sih susahnya bermimpi? Bukankah kenyataan hidup ini seringkali berawal dari sebuah mimpi?

Dan sungguh, adakah hal yang lebih membahagiakan di dunia ini selain kebermaknaan hidup kita bagi sesama? Sebuah cita-cita amat mulia, “ilmin yuntafa’u bihi”. Ilmu yang bermanfaat bagi sesama, terlebih bagi para penderita.

Bismillaahittawakkaltu ‘alallaah, Laa haula wa laa quwwata illaa billaah…
Kobe, 10 Februari 2009

Kisah ini merupakan pengalaman asli yang ditulis oleh, dr. Siti Nur Aisyah J. yang kini sedang menuntut ilmu di Negeri Sakura (Jepang).

tag: pengalaman, pengetahuan, kedokteran, jepang, beasiswa, sel, kloning, lupus, & gen.

Dicopy dari: http://gagmwkalah.blogspot.com/2009/02/kisah-nyata-eksperimen-cloning-gen.html

whats the BIOLOGI???

Sudah lupa apa itu bologi,,?
hemmmmph,,
Biologi itu berasal dari kata bio dan logos, bio artinya hidup sedangkan logos artinya ilmu. Jadi, biologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan,,.